Senin, 04 Februari 2013

KRITERIA MASLAHAT


KEPUTUSAN FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor:  6/MUNAS VII/MUI/10/2005
Tentang
KRITERIA MASLAHAT
 Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam Musyawarah Nasional MUI VII, pada 19-22 Jumadil Akhir 1426 H. / 26-29 Juli 2005 M., setelah
MENIMBANG                     :  a.   bahwa akhir-akhir ini istilah maslahat sering diguna-kan pihak-pihak tertentu sebagai dalil untuk menetapkan hukum tanpa mengindahkan batasan-batasan dan kaedah-kaedah yang baku (bi ghairi hududin wa laa dlawabith);
                                                  b.   bahwa pemahaman dan penggunaan maslahat yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah hukum Islam tersebut, telah mengakibatkan terjadinya kesalahan dalam menetapkan hukum Islam sehinga menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat;
                                                  c.   bahwa dalam rangka memelihara dan mendudukkan hukum Islam secara proporsional Majelis Ulama Indonesia memandang perlu menetapkan fatwa tentang kriteria maslahat untuk dijadikan pedoman agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.
MENGINGAT                      :  1.   Firman Allah SWT.; a.l.:
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (al-Anbiya [21]: 107).
“Dan Kami turunkan (Al Qur'an itu dengan sebenar-benarnya dan Al Qur'an itu telah turun dengan (membawa) kebenaran. Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan”. (al-Isra' [17]: 105)
“Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan mem-bawa kebenaran sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan…” (QS. Fathir ayat [35]: 24).
“…Allah tidak hendak menyulitkan kamu …”  (QS. al-Maidah [5]: 6).
“… dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan…” (QS. al-Hajj [22]: 78)
”… Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu...” (QS. al-Baqarah [2]: 185)
“Dan sesungguhnya Al-Qur'an itu benar-benar menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman”. (QS. al-Naml [27]: 77).
 “Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu”. (QS. al-Mu’minun: [23]: 71).
2.   Hadis Nabi s.a.w.; a.l.:
“Kalian diutus untuk memberikan kemudahan, dan bukan untuk memberikan kesulitan” (HR. al-Bukhari)
“Tidak boleh menimbulkan mudarat bagi diri sendiri maupun orang lain”. (HR. Imam Ibnu Majah, al-Daraquthni, dan yang lain, dari Abu Sa’id al-Khudri)
MEMPERHATIKAN:1.      Pendapat al-Khawarizmi sebagaimana dikutip oleh al-Syaukani dalam kitab Irsyad al-Fuhul, h. 242:
 “Maslahat adalah memelihara tujuan hukum Islam dengan menolak/ menghindarkan bencana (kerusakan, hal-hal yang merugikan) dari makhluk (manusia)”.
2.   Pendapat Hujatul-Islam Imam al-Ghazali dalam al-Mustashfa, juz 1, h. 286-287):
“Maslahat menurut makna asalnya berarti menarik manfaat atau menolak mudarat (hal-hal yang merugikan). Akan tetapi, bukan itu yang kami maksud, sebab meraih manfaat dan menghindarkan mudarat adalah tujuan makhluk (manusia). Kemaslahatan makhluk terletak pada tercapainya tujuan mereka. Yang kami maksud dengan maslahat adalah memelihara tujuan syara’ (hukum Islam). Tujuan hukum Islam yang ingin dicapai dari makhuk ada lima; yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta mereka. Setiap hukum yang mengandung tujuan memelihara kelima hal ini disebut maslahat; dan setiap hal yang meniadakannya disebut mafsadat dan menolaknya disebut maslahat”.
3. Pendapat Asy-Syathibi (al-Muwafaqat, juz 2, h. 39-40):
 “Setiap dasar agama (kemaslahatan) yang tidak ditunjuk oleh nash tertentu dan ia sejalan dengan tindakan syara’ serta maknanya diambil dari dalil-dalil syara’, maka hal itu benar, dapat dijadikan landasan hukum dan dijadikan rujukan. Demikian itu apabila kemaslahatan tersebut --berdasarkan kumpulan beberapa dalil-- dapat dipastikan kebenarannya. Sebab dalil-dalil itu tidak mesti menunjukkan kepastian hukum secara berdiri sendiri tanpa digabungkan dengan dalil yang lain, sebagaimana penjelasan terdahulu. Hal tersebut karena yang demikian itu nampaknya sulit terjadi”.
4.        Pendapat Sidang Komisi C Bidang Fatwa pada Munas VII MUI 2005.
   Dengan bertawakkal kepada Allah SWT

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN                  : FATWA TENTANG KRITERIA MASLAHAT
1.   Maslahat/kemaslahatan menurut hukum Islam adalah tercapainya tujuan syari’ah (maqashid al-syari’ah) yang diwujudkan dalam bentuk terpeliharanya lima kebutuhan primer (al-dharuriyyat al-khams), yaitu agama, akal, jiwa, harta, dan keturunan.
2.   Maslahat yang dibenarkan oleh syari’ah adalah maslahat yang tidak bertentangan dengan nash. Oleh karena itu, mashlahat tidak boleh bertentangan dengan nash.
3.   Yang berhak menentukan maslahat-tidaknya sesuatu menurut syara’ adalah lembaga yang mempunyai kompetensi di bidang syari’ah dan dilakukan melalui ijtihad jama’i.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.