Senin, 04 Februari 2013

‎7 AMALAN YANG PAHALANYA TERUS MENGALIR

Bismillaahirrahmaanirrahiim...

AMAL JARIYAH adalah sebutan bagi amalan yang terus mengalir pahalanya, walaupun orang yang melakukan amalan tersebut sudah wafat. Amalan tersebut terus memproduksi pahala yang terus mengalir kepadanya.

Dari Abu Hurairah menerangkan bahwa Rasulullah SAW bersabda,

"Apabila anak Adam (manusia) wafat, maka terputuslah semua (pahala) amal perbuatannya kecuali tiga macam perbuatan, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya." (HR. Muslim)

Selain dari ketiga jenis perbuatan di atas, ada lagi beberapa macam perbuatan yang tergolong dalam amal jariyah.

Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW bersabda; "Sesungguhnya diantara amal kebaikan yang mendatangkan pahala setelah orang yang melakukannya wafat ialah ilmu yang disebarluaskannya, anak saleh yang ditinggalkannya, mushaf (kitab-kitab keagamaan) yang diwariskannya, masjid yang dibangunnya, rumah yang dibangunnya untuk penginapan orang yang sedang dalam perjalanan. sungai yang dialirkannya untuk kepentingan orang banyak, dan harta yang disedekahkannya." (HR. Ibnu Majah)

Di dalam hadis ini disebut tujuh macam amal yang tergolong amal jariyah sebagai berikut.

1. Menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang bermanfaat, baik melalui pendidikan formal maupun nonformal, seperti diskusi, ceramah, dakwah, dan sebagainya. Termasuk dalam kategori ini adalah menulis buku yang berguna dan mempublikasikannya.

2. Mendidik anak menjadi anak yang saleh. Anak yang saleh akan selalu berbuat kebaikan di dunia. Menurut keterangan hadis ini, kebaikan yang dipeibuat oleh anak saleh pahalanya sampai kepada orang tua yang mendidiknya yang telah wafat tanpa mengurangi nilai/pahala yang diterima oleh anak tadi.

3. Mewariskan mushaf (buku agama) kepada orang-orang yang dapat memanfaatkannya untuk kebaikan diri dan masyarakatnya.

4. Membangun masjid. Hal ini sejalan dengan sabda Nabi SAW, "Barangsiapa yang membangun sebuah masjid karena Allah walau sekecil apa pun, maka Allah akan membangun untuknya sebuah rumah di surga." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Orang yang membangun masjid tersebut akan menerima pahala seperti pahala orang yang beribadah di masjid itu.

5. Membangun rumah atau pondokan bagi orang-orang yang bepergian untuk kebaikan. Setiap orang yang memanfaatkannya, baik untuk istirahat sebentar maupun untuk bermalam dan kegunaan lain yang bukan untuk maksiat, akan mengalirkan pahala kepada orang yang membangunnya.

6. Mengalirkan air secara baik dan bersih ke tampat-tempat orang yang membutuhkannya atau menggali sumur di tempat yang sering dilalui atau didiami orang banyak. Setelah orang yang mengalirkan air itu wafat dan air itu tetap mengalir serta terpelihara dari kecemaran dan dimanfaatkan orang yang hidup maka ia mendapat pahala yang terus mengalir.

Semakin banyak orang yang memanfaatkannya semakin banyak ia menerima pahala di akhirat.

Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa membangun sebuah sumur lalu diminum oleh makhluk atau burung yang kehausan, maka Allah akan memberinya pahala kelak di hari kiamat." (HR. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Majah)

7. Menyedekahkan sebagian harta. Sedekah yang diberikan secara ikhlas akan mendatangkan pahala yang berlipat ganda.

Maslahat


Maslahat (al-mashlahah, bentuk pluralnya al-mashâlih) adalah mashdar (gerundmim dari katashalaha–yashlahu wa yashluhu–shulûhan wa shalâh[an]; bisa juga dari kata shaluha–yashlahu–shulûhan wa shalâh[an]. Secara bahasa artinya adalah lawan dari fasâd (kerusakan). Karena itu, ishlâhdan istishlâh adalah lawan dari ifsâd dan istifsâd; maslahat adalah lawan dari mafsadat.
Di dalam Mu’jam al-Wasîth dikatakan shalaha shalâhan wa shulûh[an], artinya fasad (kerusakan) hilang darinya. Sesuatu yang bermanfaat dan sesuai dikatakan: yashlahu laka. Juga dinyatakan,mashlahah adalah ash-shalâh dan manfaat.
Abu al-‘Abbas al-Fayyumi dalam Mishbâh al-Munîr fî Gharîb asy-Syarh al-Kabîr mengatakan, “wa ashlahtuhu fa shalaha wa ashlaha adalah membawa ash-shalâh, yaitu kebaikan (al-khayr) dan yang benar/sesuai (ash-shawâb). Di dalam perkara tersebut terdapat mashlahah, yaitu terdapat kebaikan (al-khayr).”
Dengan demikian, maslahat secara bahasa dapat dimaknai sebagai manfaatkebaikan dan jauh dari kerusakan. Jadi, maslahat itu meliputi salah satu dari dua sisi atau keduanya sekaligus: sisi mendatangkan manfaat atau kebaikan serta sisi menghilangkan/mencegah kerusakan (mafsadat) dan bahaya (madharat)—jalb al-manâfi’ aw al-khayr wa daf’u al-mafâsid aw al-madharrah.
Al-Quran dan as-Sunnah di banyak tempat menggunakan kata ishlâh sebagai lawan dari isfsâd.(Lihat, misalnya: QS al-Baqarah [2]: 11; al-A’raf [7]: 85 dan asy-Syu’ara’ [26]: 152. Adapaun di dalam hadis, misalnya, Abdurrahman bin Sanah mendengar Rasul saw. pernah bersabda:
بَدَأَ الإِِسْلاَمُ غَرِيبًا، ثُمَّ يَعُودُ غَرِيبًا كَمَا بَدَأَ، فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ قِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، وَمَنِ الْغُرَبَاءُ؟ قَالَ: الَّذِينَ يُصْلِحُونَ إِذَا فَسَدَ النَّاسُ…
“Islam itu awalnya asing, kemudian akan kembali menjadi asing seperti awalnya. Karena itu, beruntunglah orang yang asing.” Ditanyakan, “Ya Rasulullah, siapa orang yang asing itu?” Beliau bersabda, “Mereka yang melakukan perbaikan pada saat masyarakat melakukan rusak (HR Ahmad).
Jadi, al-Quran dan as-Sunnah menggunakan kata ishlâh dan ash-shalâh—yang merupakan asal darimashlahah—dalam makna bahasanya, yaitu lawan dari ifsâd dan fasâd. Kata mashlahah sendiri tidak ditemukan di dalam nash baik al-Quran maupun as-Sunnah. Hal itu menunjukkan bahwa syariah tidak mendefinisikan kata mashlahah secara spesifik dan tidak mengalihkan pengertian dan maknanya dari makna bahasanya.
Dalam perkembangannya, istilah maslahat ini jadi menonjol dalam kajian ushul fikih dan para ulama ushul fikih. Akhirnya, istilah mashlahah menjadi salah satu istilah yang populer dalam kajian ushul fikih dan memiliki pengertian tersendiri yang lebih khusus daripada makna bahasanya.
Ibn Qudamah di dalam Rawdhah an-Nâzhir wa Jannah al-Munâzhir menyatakan, mashlahah adalah mendatangkan manfaat dan menolak bahaya (jalb al-manfa’ah wa daf’u al-madharrah).
Imam al-Ghazali berkata di dalam al-Mustashfâ fî ‘Ilm al-Ushûl:
Maslahat pada dasarnya adalah ungkapan tentang mendatangkan manfaat dan menolak madarat. Yang kami maksudkan bukan itu. Jalb al-manfa’ah wa daf’u al-madharrah adalah maksud/tujuan makhluk dan kebaikan makhluk ada dalam pencapaian maksud/tujuan mereka. Akan tetapi, yang kami maksudkan dengan mashlahah adalah penjagaan atas maksud/tujuan syariah. Maksud/tujuan syariah dari makhluk ada lima: menjaga agama, jiwa, akal, keturunan (nasab) dan harta mereka.Semua hal yang menjelaskan penjagaan lima dasar ini adalah maslahat. Semua yang melalaikan pokok-pokok ini adalah mafsadat. Sebaliknya, menolaknya, yaitu menolak semua hal yang mengabaikan pokok-pokok itu, adalah maslahat.
Menurut Imam asy-Syathibi dalam Al-Muwâfaqât, pada dasarnya syariah ditetapkan untuk mewujudkan kemaslahatan hamba (mashâlih al-‘ibâd), baik di dunia maupun di akhirat. Kemudian Beliau membagi maslahat—yang juga disebut maqâshid—menjadi tiga jenis: maslahat dharûriyah,hâjiyat dan tahsîniyat. Disebut dharûriyah karena maslahat ini harus ada dalam menegakkan kemaslahatan agama dan dunia; jika tidak ada maka kemaslahatan dunia tidak akan berjalan lurus; ia akan berjalan di atas kerusakan, kacau dan kehidupan hilang. Dharûriyah terdiri dari menjaga agama, jiwa, keturunan (nasab), harta dan akal. Disebut hâjiyat karena hal itu diperlukan untuk merealisasikan kelapangan dan menghilangkan kesempitan dan kesukaran, contohnya rukhshah.Adapun tahsîniyat maknanya adalah mengambil kebaikan (perhiasan-perhiasan) tradisi dan menjauhi kondisi yang kotor; semua itu dihimpun oleh bagian akhlak mulia, seperti bersuci, menutup aurat, berhias, ber-taqarrub dengan amalan sunnah, sedekah, dsb.

Hukum Syariah Pasti Membawa Maslahat
Allah Swt. mengutus Rasul saw dengan membawa risalah sebagai rahmat:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam. (QS al-Anbiya’ [21]: 107).
Allah menyatakan, tidak ada tujuan lain dari diutusnya Rasul saw., kecuali sebagai rahmat. Rasul diutus dengan membawa risalah. Artinya, risalah Islam ini diturunkan tidak lain sebagai rahmat. Jadi keberadaan risalah yang diterapkan di tengah-tengah manusia, itulah rahmat.
Allah SWT juga berfirman:
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْءَانِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلَا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَارًا
Kami menurunkan dari al-Quran sebagai penawar dan rahmat bagi orang-orang Mukmin (QS al-Isra’ [17]: 82).
Kedua ayat ini menunjukkan maksud yang dituju dari diturunkannya risalah dan al-Quran, yaitu sebagai obat dan rahmat. Hal itu adalah tujuan yang ingin dicapai, hasil dari penerapannya. Rahmatmaknanya adalah mendatangkan manfaat dan menolak mafsadat. Itulah maslahat. Jadi, rahmat, yakni maslahat, itulah maksud atau tujuan hasil diterapkannya risalah.
Penetapan sesuatu sebagai maslahat atau bukan hanya diserahkan pada syariah. Syariahlah yang mendatangkan maslahat. Syariah pula yang menentukan mana yang maslahat bagi manusia karena yang dimaksud maslahat adalah maslahat bagi manusia sebagai manusia. Maslahat bagi individu sekalipun adalah maslahat baginya sebagai manusia, bukan sebagai individu. Penentuan maslahat itu tidak boleh diserahkan pada akal semata. Sebab, akal terbatas, tidak mengetahui fakta dan hakikat manusia sehingga tidak bisa mengetahui hakikat maslahat dan mafsadat bagi manusia. Manusia dengan akalnya hanya bisa menduga sesuatu sebagai maslahat atau mafsadat. Namun, sering manusia salah menilai: manfaat dianggap mafsadat dan madarat dianggap maslahat.Penilaian manusia itu juga bisa berubah-ubah seiring waktu, tempat dan kondisi. Karena itu, menyerahkan penentuan maslahat dan mafsadat pada akal justru mengundang bahaya. Pasalnya, akal bisa saja menentukan sesuatu sebagai maslahat, padahal justru madarat. Jika sudah demikian, bencana pun menjadi keniscayaan.
Allah Swt. mengingatkan bahwa manusia memang tidak mengetahui hakikat maslahat dan mafsadat itu; hanya Allah sajalah yang mengetahuinya. Allah Swt. berfirman:
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagilian. Boleh jadi pula kalian menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kalian. Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui(QS al-Baqarah [2]: 216).
Karena itu, penentuan maslahat itu harus dikembalikan pada syariah, bukan pada akal. Imam Izzuddin bin Abdus Salam di dalam Qawâ’id al-Ahkâm fî Mashâlih al-Anâm halaman 13 menyatakan, “Kebanyakan maslahat dan mafsadat dunia diketahui dengan akal.”
Beliau berkata pada halaman 14, “Maslahat dan mafsadat dunia sama sekali tidak sebanding dengan maslahat dan mafsadat akhirat.”
Beliau juga berkata di halaman 13, “Adapun maslahat dan mafsadat dunia dan akhirat maka tidak bisa diketahui kecuali dengan syariah.”
Walhasil, maslahat adalah apa yang dituntut atau dibolehkan oleh syariah; mafsadat adalah apa saja yang dilarang dan tidak dibolehkan oleh syariah. Dalam hal ini, para Sahabat telah memberikan contoh yang bisa kita teladani. Rafi’ bin Khadij berkata, pamannya berkata—ketika Rasul saw. melarang mereka dari muzâra’ah/mukhâbarah, yaitu menyewakan lahan pertanian:
نَهَانَا رَسُولُ اللهِ عَنْ أَمْرٍ كَانَ لَنَا نَافِعًا وَطَوَاعِيَةُ اللهِ وَرَسُولِهِ أَنْفَعُ لَنَا
Rasulullah saw. telah melarang kami dari satu perkara yang bermanfaat bagi kami, tetapi ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya lebih bermanfaat bagi kami (HR Muslim, Abu Dawud, an-Nasa’i dan Ahmad).

KRITERIA MASLAHAT


KEPUTUSAN FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor:  6/MUNAS VII/MUI/10/2005
Tentang
KRITERIA MASLAHAT
 Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam Musyawarah Nasional MUI VII, pada 19-22 Jumadil Akhir 1426 H. / 26-29 Juli 2005 M., setelah
MENIMBANG                     :  a.   bahwa akhir-akhir ini istilah maslahat sering diguna-kan pihak-pihak tertentu sebagai dalil untuk menetapkan hukum tanpa mengindahkan batasan-batasan dan kaedah-kaedah yang baku (bi ghairi hududin wa laa dlawabith);
                                                  b.   bahwa pemahaman dan penggunaan maslahat yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah hukum Islam tersebut, telah mengakibatkan terjadinya kesalahan dalam menetapkan hukum Islam sehinga menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat;
                                                  c.   bahwa dalam rangka memelihara dan mendudukkan hukum Islam secara proporsional Majelis Ulama Indonesia memandang perlu menetapkan fatwa tentang kriteria maslahat untuk dijadikan pedoman agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.
MENGINGAT                      :  1.   Firman Allah SWT.; a.l.:
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (al-Anbiya [21]: 107).
“Dan Kami turunkan (Al Qur'an itu dengan sebenar-benarnya dan Al Qur'an itu telah turun dengan (membawa) kebenaran. Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan”. (al-Isra' [17]: 105)
“Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan mem-bawa kebenaran sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan…” (QS. Fathir ayat [35]: 24).
“…Allah tidak hendak menyulitkan kamu …”  (QS. al-Maidah [5]: 6).
“… dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan…” (QS. al-Hajj [22]: 78)
”… Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu...” (QS. al-Baqarah [2]: 185)
“Dan sesungguhnya Al-Qur'an itu benar-benar menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman”. (QS. al-Naml [27]: 77).
 “Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu”. (QS. al-Mu’minun: [23]: 71).
2.   Hadis Nabi s.a.w.; a.l.:
“Kalian diutus untuk memberikan kemudahan, dan bukan untuk memberikan kesulitan” (HR. al-Bukhari)
“Tidak boleh menimbulkan mudarat bagi diri sendiri maupun orang lain”. (HR. Imam Ibnu Majah, al-Daraquthni, dan yang lain, dari Abu Sa’id al-Khudri)
MEMPERHATIKAN:1.      Pendapat al-Khawarizmi sebagaimana dikutip oleh al-Syaukani dalam kitab Irsyad al-Fuhul, h. 242:
 “Maslahat adalah memelihara tujuan hukum Islam dengan menolak/ menghindarkan bencana (kerusakan, hal-hal yang merugikan) dari makhluk (manusia)”.
2.   Pendapat Hujatul-Islam Imam al-Ghazali dalam al-Mustashfa, juz 1, h. 286-287):
“Maslahat menurut makna asalnya berarti menarik manfaat atau menolak mudarat (hal-hal yang merugikan). Akan tetapi, bukan itu yang kami maksud, sebab meraih manfaat dan menghindarkan mudarat adalah tujuan makhluk (manusia). Kemaslahatan makhluk terletak pada tercapainya tujuan mereka. Yang kami maksud dengan maslahat adalah memelihara tujuan syara’ (hukum Islam). Tujuan hukum Islam yang ingin dicapai dari makhuk ada lima; yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta mereka. Setiap hukum yang mengandung tujuan memelihara kelima hal ini disebut maslahat; dan setiap hal yang meniadakannya disebut mafsadat dan menolaknya disebut maslahat”.
3. Pendapat Asy-Syathibi (al-Muwafaqat, juz 2, h. 39-40):
 “Setiap dasar agama (kemaslahatan) yang tidak ditunjuk oleh nash tertentu dan ia sejalan dengan tindakan syara’ serta maknanya diambil dari dalil-dalil syara’, maka hal itu benar, dapat dijadikan landasan hukum dan dijadikan rujukan. Demikian itu apabila kemaslahatan tersebut --berdasarkan kumpulan beberapa dalil-- dapat dipastikan kebenarannya. Sebab dalil-dalil itu tidak mesti menunjukkan kepastian hukum secara berdiri sendiri tanpa digabungkan dengan dalil yang lain, sebagaimana penjelasan terdahulu. Hal tersebut karena yang demikian itu nampaknya sulit terjadi”.
4.        Pendapat Sidang Komisi C Bidang Fatwa pada Munas VII MUI 2005.
   Dengan bertawakkal kepada Allah SWT

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN                  : FATWA TENTANG KRITERIA MASLAHAT
1.   Maslahat/kemaslahatan menurut hukum Islam adalah tercapainya tujuan syari’ah (maqashid al-syari’ah) yang diwujudkan dalam bentuk terpeliharanya lima kebutuhan primer (al-dharuriyyat al-khams), yaitu agama, akal, jiwa, harta, dan keturunan.
2.   Maslahat yang dibenarkan oleh syari’ah adalah maslahat yang tidak bertentangan dengan nash. Oleh karena itu, mashlahat tidak boleh bertentangan dengan nash.
3.   Yang berhak menentukan maslahat-tidaknya sesuatu menurut syara’ adalah lembaga yang mempunyai kompetensi di bidang syari’ah dan dilakukan melalui ijtihad jama’i.

Menggugat 'Demi Maslahat Dakwah' 2


Para penganut dan pendukung demokrasi seringkali menjadikan maslahat dakwah sebagai alasan mereka terjun dan memperjuangkan Islam dengan sistem batil demokrasi. Sebenarnya apakah benar mereka menjadikan alasan maslahat dakwah untuk terjun ke dalam kubangan demokrasi ? Bagaimana menurut Al Qur’an dan As Sunnah?
Mereka mengatakan: Sesungguhnya masuk majelis-majelis itu mengandung banyak maslahat. Bahkan sebagaian mereka mengklaim bahwa majelis itu pada dasarnya adalah mashlahat mursalah, dan mereka menyebutkan: Bisa dakwah kepada agama Allah, bisa menyampaikan yang hak, mereka juga menyebutkan: Merubah sebagian kemungkaran dan meringankan sebagian tekanan terhadap dakwah dan para du’aat.
Mereka juga menyebutkan: Untuk tidak membiarkan tempat-tempat dan majelis-majelis itu dipenuhi orang-orang nasrani, atau komunis atau yang lainnya…dan sebagian mereka lebih dasyat lagi dan mengatakan: Ini adalah untuk masalahat tahkiim syarii’at Allah (pemberlakuan hukum Islam) dan penegakkan dien-Nya (penegakkan ajaran-Nya) lewat MPR/DPR/Parlemen…….dan maslahat-maslahat yang mereka klaim, impiannya dan keinginanya………semua itu berkisar sekitar masalahat (dakwah).
Maka kami katakan dengan taufiq Allah subhaanahu wa ta’aala: Siapa yang berhak menentukan maslahat-maslahat dien-Nya dan hamba-hamba-Nya, serta mengetahuinya dengan sebenar-benarnya? Allah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui?? Atau kalian dengan anggapan-anggapan baik (istihsan) kalian dan maslahat-maslahat (ishtishlaah) yang kalian klaim??
Bila kalian mengatakan: Kami. Maka kami katakan: Berarti bagi kalianlah agama kalian dan bagi kamilah agama kami, kami tidak akan menyembah apa yang kalian sembah, dan kalian bukan penyembah Tuhan yang kami sembah….sebab Allah subhaanahu wa ta’aala mengatakan:
ما فرطنا في الكتاب من شيء
Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam Al Kitab,”
Dan Dia berfirman seraya mengingkari terhadap orang-orang demokrat dan yang serupa dengan mereka:
أيحسب الإنسان أن يترك سدى
Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja,”
Dan firman-Nya subhaanahu wa ta’aala:
أفحسبتم أنما خلقناكم عبثا
Apakah kalian mengira bahwa kami menciptakan kalian secara main-main (saja). Al Mukminuun: 115.
Ini dalam agama dan ajaran kami……adapun dalam ajaran dan agama demokrasi adalah tidak adanya tempat bagi ayat-ayat yang muhkam ini, karena manusia menurut mereka adalah penentu hukum buat dirinya….mereka mengatakan: Ya, manusia itu sudah ditinggalkan begitu saja, dia memiliki kebebasan penuh untuk memilih, mengakui, meninggalkan, dan menetapkan tasyrii’ dan ajaran yang dia inginkan….baginya tidak penting apakah aturan yang dia buat-buat itu sesuai dengan apa yang ada di dalam Kitabullah atau justeru bertentangan….yang penting pedomannya adalah jangan sampai bertentangan dengan aturan dan perundang-undangan dasar yang ada.
أف لكم ولما تعبدون من دون الله أفلا تعقلون
Ah (celakalah) kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah. Maka apakah kalian tidak berakal.Al Anbiyaa:67.
Bila mereka mengatakan: Justeru Allah subhaanahu wa ta’aala sajalah Dzat satu-satunya yang berhak menentukan maslahat-
maslahat itu dengan sebaik-baik penentuan, karena Dia-lah yang telah menciptakan makhluk-Nya sedang Dia lebih mengetahui akan maslahat-maslahat mereka.
ألا يعلم من خلق وهو اللطيف الخبير
Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan apa yang kamu rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui? Al Mulk:14.
Kami bertanya kepada mereka: Apakah maslahat terbesar dalam kehidupan ini yang telah Allah tetapkan, dan karenanya Dia telah mengutus para rasul, Dia menurunkan Kitab-Kitab, Dia mensyari’atkan jihad dan istisyhaad, serta untuk merealisasikannya daulah Islamiyyah ditegakkan…..wahai para para du’aat (yang mengaku ingin mengembalikan) khilafah???????
Bila mereka kesana kemari ngawur kelabakkan dalam maslahat-maslahat juz’iyyah (parsial) lagi nomor dua dan berpaling dari pokok segala pokok.
Maka kami katakan kepada mereka: Buang dari kalian ucapan ngawur dan igauan itu, dan duduklah untuk belajar pokok dien kalian, pelajarilah makna Laa ilaaha Illallaah yang di mana dakwah, jihad, istisyhad tidak mungkin diterima tanpa merealisasikannya dan tanpa mengetahui maknanya.
Dan bila mereka mengatakan: Maslahat terbesar dalam kehidupan ini adalah memurnikan tauhid hanya bagi Allah subhaanahu wa ta’aala, menjauhi apa yang menyalahinya dan yang membatalkannya berupa syirik dan tandiid (menjadikan tandingan bagi Allah).
Maka kita katakan: Apakah masuk akal wahai orang-orang yang berakal!!! Kalian menghancurkan maslahat yang agung lagi menyeluruh dan qath’iy, kemudian kalian bersekongkol dengan thaghut-thaghut itu di atas ajaran bukan ajaran Allah (demokrasi), kalian menerima dan menghormati hukum yang bukan hukum-Nya subhaanahu wa ta’aala (yaitu undang-undang dasar), dan kalian mengikuti arbaab musyarri’iin(tuhan-tuhan para pembuat hukum dan perundang-undangan) yang bermacam-macam di samping Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa…?? Kalian dengan perbuatan ini hancurkan maslahat terbesar dalam kehidupan yaitu tauhid dan kufur terhadap thaghut…….demi mencapai maslahat parsial yang hanya sekedar perkiraan yang tidak jelas???
Timbangan apa, akal siapa, ajaran apa, serta agama apa yang rela akan hal ini. Tidak ada yang rela kecuali agama demokrasi kafir itu??
Dan bagaimana sebagian di antara kalian berani mengklaim bahwa majelis-majelis syirik ini adalah bagian dari mashalih mursalah. Sesungguhnya maslahat mursalah menurut ulama yang memakainya adalah: (Maslahat yang tidak diakui dan tidak digugurkan oleh syari’at). Maka apakah kalian mengklaim bahwa syari’at tidak menggugurkan kekafiran dan kemusyrikan, serta tidak membathilkan setiap ajaran yang bertentangan dengan dienul Islam dan setiap millah yang bersebrangan dengan millah tauhid…??
Kemudian dakwah apaan yang kalian klaim bisa kalian sampaikan, dan kebenaran macam apa yang kalian klaim disuarakan di majelis-majelis syirik ini setelah kalian mengubur pokok dari segala inti dakwah Islamiyyah dan pusat segala roda kebenaran yang jelas?? Dan apakah pokok dari segala pokok dan maslahat terbesar itu dikubur dan ditimbun demi untuk menggolkan di atas kuburannya parsial-parsial dan cabang-cabang dari agama ini….??
Kemudian saat kalian berusaha menggolkan parsial-parsial dan far’iiy-far’iiy itu – seperti orang yang berusaha menggolkan undang-undang haramnya khamr – kepada apa kalian menyandaran tuntutan-tuntutan kalian akan haramnya khamr itu, dan dengan apa kalian berdalil dan memberikan alasan hukum?? Apakah kalian mengatakan: Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda??
Kemudian bila kalian mengklaim ini, maka kalian adalah dusta, karena hal ini tidak dijadikan sandaran (tidak dianggap) dalam agama demokrasi dan dalam syari’at undang-undang, kecuali apa yang didukung oleh undang-undang dan diakuinya serta dikuatkannya….tidak diragukan lagi kalian pasti akan mengatakan: Sesuai dengan pasal dua dan pasal 24… dan pasal 25….dan hal serupa berupa hukum-hukum dan perundangan kafir dan sesat ini…….maka apakah setelah ini ada kekafiran, syirik dan ilhaad?? Dan apakah masih ada tersisa bagi orang yang meniti jalan ini ashlu dien, millah, dan tauhidnya..?????
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلاَلاً بَعِيدًا
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (Qs: An-Nisaa’: 60)
Berilah kami jawaban….apakah mungkin membuat undang-undang atau hukum di sarang-sarang paganisme ini selain melewati jalan-jalan (jalur-jalur) kemusyrikan dan kekufuran..???
Berilah kami jawaban wahai para pengklaim maslahat dan orang-orang yang merasa lebih paham..??
Dan termasuk berhukum dengan apa yang Allah turunkan yang kalian tangisi, apakah kalian ingin menggolkannya lewat jalan syirik ini..???
Apakah kalian tidak mengetahui bahwa itu adalah jalan kekafiran dan sudah dibentengi…karena kalau seandainya itu berhasil –ini hanya mengandai-andai – maka itu tidak akan menjadi hukum Allah, akan tetapi itu adalah hukum undang-undang, hukum rakyat, dan hukum mayoritas. Dan tidak akan menjadi hukum Allah kecuali saat adanya berserah diri dan menerima sepenuhnya akan firman Allah, dada lapang untuk menerima syari’at-Nya dan untuk menghamba kepada-Nya subhaanahu wa ta’aala. Adapun saat menerima penuh ajaran demokrasi, syari’at undang-undang, dan hukum rakyat serta hukum mayoritas, maka itu adalah hukum thaghut meskipun pada saat yang
bersamaan sesuai dengan hukum Allah dalam beberapa bentuknya, karena Allah subhaanahu wa ta’aala telah berfirman:
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلَّهِ
“Keputusan itu hanyalah milik Allah,.” (Qs: Yusuf: 40)
Allah tidak mengatakan: Keputusan itu hanyalah milik manusia,” dan Allah subhaanahu wa ta’aala juga berfirman:
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ
“”Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah,”” (Qs: Al-Maa-idah:49).
Allah tidak mengatakan: menurut seperti apa yang Allah turunkan,” atau,” dan hendaklah putuskan di antara mereka menurut apa yang ditegaskan oleh hukum dan undang-undang buatan,” justeru itu adalah ucapan kaum musyrikin dari kalangan budak-budak demokrasi dan para penyembah undang-undang bumi.
Kemudian mana kalian? Apakah kalian masih dalam tidur dan kesesatan kalian yang lalu? Apakah kalian mengubur kepala kalian dalam pasir…apakah kalian tidak menyaksikan percobaan-percobaan orang-orang yang seperti kalian yang ada di sekitar?, lihat ini Al Jazair, itu Kuwait, di sana ada Mesir, dan yang lain-lainnya banyak. Apakah kalian masih belum yakin bahwa ini adalah permainan kufriyyah, pertunjukan syirkiyyah yang timpang lagi tertutup jalannya?? Apakah kalian masih belum percaya bahwa majelis-majelis ini adalah bola mainan di tangan thaghut, dia bisa membukanya, menutupnya, mengaktifkannya, dan membubarkannya kapan saja dan saat dia suka, dan sesungguhnya tidak akan ada undang-undang yang dibuat sehingga disahkan dan disetujui oleh thaghut. Maka kenapa kalian masih tetap bersikukuh di atas kekufuran yang jelas ini…dan ngotot di atas kehinaan yang nampak ini..??
Kemudian setelah ini semua jelas tetap saja engkau bisa mendapatkan orang-orang itu dengan lugasnya meneriakan dan mengatakan: Bagaimana majelis-majelis ini kita biarkan bagi orang-orang komunis atau nasrani……..atau orang-orang kafir lainnya….?? Enyahlah, dan enyahlah, binasalah, dan binasalah kalian. Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman:
ولا يحزنك الذين يسارعون في الكفر إنهم لن يضروا الله شيئا يريد الله أن لا يجعل لهم حظا في الآخرة ولهم عذاب عظيم
Janganlah kamu disedihkan oleh orang-orang yang segera menjadi kafir; sesungguhnya mereka tidak sekali-kali dapat memberi mudharat kepada Allah sedikitpun. Allah berkehendak tidak akan memberi sesuatu bahagian (dari pahala) kepada mereka di hari akhirat, dan bagi mereka adzab yang pedih,”Ali Imran 176.
Bila kalian tergolong orang-orang kafir mulhid, maka senanglah kalian dengan keikut sertaan dan ikut ambil bagian….silahkan ikut serta bersama mereka dalam kekafiran dan kemusyrikannya bila kalian mau, akan tetapi ketahuilah bahwa kebersamaan kalian bersama mereka dalam keadaan ini tidak hanya terbatas di kehidupan dunia, namun sebagaimana apa yang Allah subhaanahu wa ta’aala firmankan dalam surat An Nisaa setelah menghati-hatikan dari majelis-majelis seperti ini dan Dia memerintahkan untuk menjauhi para pelakunya serta tidak duduk bersama mereka, karena kalau tidak mau menuruti perintah-Nya maka orang yang duduk itu adalah sama seperti mereka, Dia berfirman seraya menghati-hatikan:
إن الله جامع المنافقين والكافرين في جهنم جميعا
Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafiq dan orang-orang kafir di dalam Jahannam,”An Nisaa: 140.
Apakah setelah penjelasan ini semua kalian masih belum yakin bahwa itu adalah kemusyrikan yang terang dan kekafiran yang
jelas.?? Apakah kalian tidak mengetahui bahwa itu adalah dien selain dienullah?? Apakah belum yakin bahwa sesungguhnya itu adalah millah bukan millah tauhid?? Apa alasannya kalian bersemangat di atasnya?? Tinggalkan itu buat mereka, ya tinggalkan itu, jauhilah, dan biarkanlah buat para pemeluk ajarannya, ikutilah millah Ibrahim yang murni sedang dia bukan tergolong orang-orang musyrik, dan katakanlah sebagaimana yang dikatakan oleh cucunya Yusuf ‘alaihissalam pada saat dia dalam keadaan lemah tertindas di balik jeraji besi penjara:
إني تركت ملة قوم لا يؤمنون بالله وهم بالآخرة هم كافرون . واتبعت ملة آبائي إبراهيم وإسحاق و يعقوب ماكان لنا أن نشرك بالله من شيئ .
Sesungguhnya aku telah meninggalkan agama orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, sedangkan mereka ingkar kepada hari kemudian. Dan aku mengikuti agama bapak-bapakku yaitu Ibrahim, Ishak dan ya’qub. Tidaklah patut bagi kami (para Nabi) mempersekutukan sesuatu apapun dengan Allah. Yusuf: 37-38.
Wahai orang-orang…jauhilah thaghut, dan majelis-majelisnya, berlepas dirilah darinya dan kafirlah kalian terhadapnya selama keadaan majelis-majelis seperti itu…
Ini adalah kebenaran yang nyata, cahaya yang terang benderang, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya…
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِيْ كُلِّ أُمَّةٍ رَسُوْلاً أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَ فمنهم من هدى الله ومنهم من حقت عليه الضلالة
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu, maka di antara umat ini ada yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya,”(An Nahl : 36)
أأرباب متفرقون خير أم الله الواحد القهار ما تعبدون من دونه إلا أسماء سميتموها أنتم وآباؤكم ما أنزل الله بها من سلطان إن الحكم إلا لله أمر ألا تعبدوا إلا إياه ذلك الدين القيم ولكن أكثر الناس لا يعلمون
Manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa ? Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya menyembah nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu. Keputusan (hukum) itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengerti. (Yusuf 39-40).
Jauhilah hal itu wahai kaum, berlepas dirilah dari orang-orangnya dan dari kemusyrikannya sebelum kesempatan berakhir…dan sebelum datang suatu hari di mana hal itu (meninggalkan dan menjauhinya) adalah angan-angan kalian terbesar dan tertinggi, akan tetapi kesempatan sudah tiada, pada hari itu penyesalan tidak berguna lagi bagi kalian, tidak pula mengaduh dan mengeluh, semua tiada manfaatnya.
وقال الذين اتبعوا لو أن لنا كرة فنتبرأ منهم كما تبرءوا منا كذلك يريهم الله أعمالهم حسرات عليهم وما هم بخارجبن من النار
Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti” Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami”. Demikian Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka, dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka. Al Baqarah: 166-167.
Jauhilah sekarang juga, dan katakanlah kepada orang-orangnya – bila memang kalian di atas millah Ibrahim dan di atas jalan para nabi dan rasul – sebagaimana yang kami katakan di penghujung perkataan kami ini:
Wahai para penyembah undang-undang buatan…dan hukum-hukum bumi rendahan……
Wahai para penghusung agama demokrasi………
Wahai anggota-anggota dewan pembuat undang-undang………
(Ketahuilah) sesungguhnya kami berlepas diri kepada Allah dari kalian dan dari ajaran kalian….
Kami kafirkan kalian, dan kami kafir terhadap undang-undang syirik kalian, serta kami kafir akan majelis-majelis kemusyrikan kalian.
(Ketahuilah) sesungguhnya telah tampak antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah saja.